Jaminan Sosial untuk Buruh
Tak bisa dipungkiri, kehidupan buruh sampai detik ini
masih sangat memprihatinkan. Mereka masih masuk kategori kelompok marjinal.
Yaitu kelompok yang tidak memiliki akses ekonomi-politik. Kelompok ini selalu
identik dengan kemiskinan. Sebabnya, antara lain, tidak adanya perhatian
pemerintah dan pengusaha dalam pemenuhan hak-hak normatif buruh. Salah satunya
adalah minimnya fasilitas jaminan sosial. Pelaksanaan program jaminan sosial
tenaga kerja atau Jamsostek, yang merupakan implementasi dari Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1992, bisa dikatakan gagal. Banyak buruh yang tidak didaftarkan
sebagai peserta Jamsostek.
Terlebih bagi buruh harian lepas dan outsourcing.
Terkhususnya mereka yang bekerja di sektor perkebunan. Alasan klasik yang
selalu dikatakan pemerintah adalah terbatasnya jumlah pengawas tenaga kerja di
dinas tenaga kerja (Disnaker). Tapi, kelemahan ini tidak ditutupi dengan adanya
tindakan tegas terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan ini. Kalaupun ada
perusahaan yang ditindak, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kini, muncul
lagi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN). Tujuannya tidak jauh berbeda dengan program Jamsostek: adanya jaminan
agar kebutuhan dasar hidup dapat diterima peserta (buruh/tenaga kerja).
Bedanya, program ini berlaku bagi semua penduduk. Tidak semata buruh an sich.
Hanya saja, seperti peribahasa yang berbunyi jauh panggang dari api, peraturan
perundang-undangan ini tidak jauh beda UU Nomor 3/1992: kontra produktif.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mandulnya program
jaminan sosial. Pertama, tidak ada keseriusan berupa political will dari
pemerintah untuk memperbaiki kehidupan buruh. Dua undang-undang di atas, jika
ditelisik lebih jauh, belum sepenuhnya membela kepentingan buruh. Menyangkut
peserta jaminan sosial, misalnya. Tidak ada secara tegas yang menyatakan bahwa
tenaga kerja (buruh) yang berstatus harian lepas dan outsourcing juga
merupakan peserta jaminan sosial. Pada kenyataannya, peserta jamsotek
didominasi buruh yang berstatus tetap. Kedua, belum adanya sistem kebijakan
penghargaan (award) dan hukuman (punishment). Ini sebagai alat
kontrol bagi pemerintah untuk menilai kinerja perusahaan. Penghargaan diberikan
bagi perusahaan yang memberikan jaminan sosial bagi seluruh pekerjanya.
Termasuk pekerja/buruh yang berstatus tidak tetap (harian lepas) dan kontrak/outsourcing.
Bentuknya bisa berupa kemudahan kredit usaha untuk peningkatan produksi ataupun
ekspansi usaha. Sedangkan hukuman diberikan bagi perusahaan yang dengan sengaja
tidak mendaftarkan pekerja ke dalam program jaminan sosial. Termasuk di
dalamnya buruh lepas dan outsourcing. Hukumannya adalah sanksi pidana
bagi pemilik perusahaan sampai pada penutupan perusahaan tersebut (lock out).
Ketiga, tidak adanya dukungan (suport) terhadap
keberlangsungan program jaminan sosial. Seperti mandeknya SJSN mengakibatkan
daerah membuat program jaminan sosialnya masing-masing. Di tataran elite, SJSN
belum menjadi program utama yang harus secepatnya dilaksanakan. Seperti belum
adanya turunan produk hukum dari undang-undang ini. Begitu juga dengan
Jamsostek. Banyak peraturan tentang perburuhan yang justru mengkresditkan
buruh. Seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
khususnya pasal 99, yang tidak tegas menyebutkan bahwa buruh harian lepas dan
kontrak/outsourcing adalah termasuk klasifikasi buruh yang wajib mendapatkan
pelayanan Jamsostek.
Posisi Jaminan Sosial
Sebelumnya, harus ada kesamaan pandang bagi kita untuk
menempatkan posisi buruh. Di mana dalam prakteknya sekarang ini buruh merupakan
outsider. Desain kebijakan politik belum memosisikan buruh sebagai salah
satu pemangku kepentingan utama (stakeholder). Implikasinya adalah
pelanggaran berbagai hak normatif buruh. Seperti upah rendah, minimnya alat
pelindung diri (APD), rendahnya kualitas alat kerja, buruknya fasilitas kerja,
dan pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Untuk mengatasi masalah
ini, maka terlebih dahulu kita harus mengubah paradigma kita mengenai buruh.
Buruh bukan budak atau pekerja paksa. Mereka sama halnya dengan kelompok
masyarakat lainnya, termasuk kaum elite pengusaha dan penguasa. Dan ini secara
gamblang dijamin di konstitusi. Buruhlah yang membuat alat produksi memiliki
nilai sehingga dapat mendatangkan kapital (modal). Meski buruh itu sendiri
tidak memiliki modal. Namun, tenaga dan jasa yang dikeluarkan buruh sama
berharganya dengan modal yang dimiliki pengusaha.
Ketika posisi buruh dan pengusaha sudah sederajat, maka
tenaga dan jasa yang mereka keluarkan harus dihargai dengan upah yang setimpal.
Makanya, konsep pembuatan upah minimum, baik untuk tingkat regional (UMR),
provinsi (UMP), kabupaten/kota (UMK), dan sektor (UMSK) tidak lagi didasari
atas kebutuhan hidup seorang lajang, tetapi atas dasar keperluan jumlah anggota
keluarga. Atau, penentuan upah harus didasari berdasarkan nilai produksi yang
diciptakannya selama satu hari. Dengan kata lain, upah buruh sudah bisa untuk
memproteksi keperluan keluarga buruh (istri dan anak). Upah ini juga sudah
memperhitungkan kenaikan rata-rata inflasi, minimal selama lima tahun. Upah
adalah pemenuhan keperluan premier dan sekunder.
Sedangkan untuk keperluan tersier, buruh mendapatkannya
melalui program jaminan sosial. Jaminan sosial adalah investasi jangka panjang
yang dimiliki buruh dan keluarganya. Yaitu berupa proteksi dan pelayanan
kesehatan, pendidikan sampai jenjang tertinggi, dan santunan kematian serta
tunjangan hari tua/pensiun. Jaminan sosial, dengan sendirinya, tidak boleh
dimasukkan ke dalam kategori upah. Program jaminan sosial dan upah harus
berdiri masing-masing. Tidak seperti saat ini, di mana, misalnya, program
Jamsostek, adalah salah satu item dari komposisi slip gaji. Belum lagi adanya
potongan-potongan lain seperti potongan iuran serikat buruh, potongan koperasi
dan potongan pensiun. Sehingga pendapatan buruh menjadi berkurang.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/06/07/jaminan-sosial-untuk-buruh-563014.html#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar