Ketentuan
Pokok Ketenagakerjaan
Pelatihan
akan merinci pokok-pokok hukum ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian
lebih, berawal dari sejak dimulai adanya hubungan kerja, kemudian selama
berlangsungnya hubungan kerja, sampai pada saat atau setelah berakhirnya
hubungan kerja dengan rujukan utamanya adalah peraturan-peraturan
ketenagakerjaan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan kerja
(perusahaan maupun pekerja atau buruh) serta hubungannya dengan SP/SB dan
pemerintah dalam bentuk undang-undang Ketenagakerjaan serta ketentuan
pelaksanaan dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Presiden, Keputusan atau Peraturan Menakertrans, dan peraturan lainnya yang
terkait.
Wajib
Lapor Ketenagakerjaan
Peraturan
Menakertrans No PER-14/MEN/IV/2006 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan
di Perusahaan, Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Pengusaha wajib membuat laporan
ketenagakerjaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya baik pada kantor pusat,
cabang maupun pada bagian perusahaan yang berdiri sendiri. Berarti, perusahaan
wajib juga membuat Laporan Perusahaan di kantor cabangnya. Pelaporan
Ketenagakerjaan lazimnya berdasarkan pada tempat dimana pekerja diterima
bekerja (untuk keperluan pendataan bagi Disnaker tempat pekerja diterima
bekerja).
Peraturan
Perundang-undangan hub.Industrial Pancasila
Proses penegakan hukum bidang
ketenagakerjaan selama ini dilakukan melalui upaya atau pendekatan
persuasif-edukatif dengan mengedepankan sosialisasi serta informasi tentang
peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Dalam tahapan awal,
pemerintah memberdayakan para pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan
pembinaan dan sosialiasi kepada perusahaan-perusahaan dan pekerja/buruh agar bisa
menjalankan aturan-aturan ketenagakerjaan.
Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pengawasan ketenagakerjaan
adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan
oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan bersifat
independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ditetapkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja
tersendiri pada instansi yang mempunyai lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang ketenagakerjaan baik di lingkungan pemerintah pusat, maupun di lingkungan
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Jaminan
sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992,
pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan
industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang
terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian,
jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua. Cakupan jaminan
kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan,
pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja
yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan
akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian
(JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah
mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak
untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala.
Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk
keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan
pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat. Pada
dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena
penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system),
yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut
secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi
sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati.
Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap
penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat
untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di
sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan
memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan
hukum Persero. Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh
jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut.
Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24 persen – 1,742 persen dari upah per bulan
dan atau per tahun, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 5 kelompok
usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi
kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan
pengusaha yaitu sebesar 0,30 persen dari upah per bulan. Sementara itu, iuran
JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6 persen dari upah per
bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 persen dari upah per
bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai batasan
maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara
bersama yaitu sebesar 3,70 persen dari upah per bulan ditanggung oleh
pengusaha, dan 2 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja. Dalam UU
No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja
swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan
sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1
juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga
kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang
diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor
informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai
sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja – mereka belum tercover
dalam Jamsostek. Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai
1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan
JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima
oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT
Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002
Sumber : hukumtenagakerja.com/tag/peraturan-tenaga-kerja/
memahami-peraturan-ketenagakerjaan-di-indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar