Senin, 24 Juni 2013

Tulisan 2



Jaminan Sosial untuk Buruh

Tak bisa dipungkiri, kehidupan buruh sampai detik ini masih sangat memprihatinkan. Mereka masih masuk kategori kelompok marjinal. Yaitu kelompok yang tidak memiliki akses ekonomi-politik. Kelompok ini selalu identik dengan kemiskinan. Sebabnya, antara lain, tidak adanya perhatian pemerintah dan pengusaha dalam pemenuhan hak-hak normatif buruh. Salah satunya adalah minimnya fasilitas jaminan sosial. Pelaksanaan program jaminan sosial tenaga kerja atau Jamsostek, yang merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992, bisa dikatakan gagal. Banyak buruh yang tidak didaftarkan sebagai peserta Jamsostek.
Terlebih bagi buruh harian lepas dan outsourcing. Terkhususnya mereka yang bekerja di sektor perkebunan. Alasan klasik yang selalu dikatakan pemerintah adalah terbatasnya jumlah pengawas tenaga kerja di dinas tenaga kerja (Disnaker). Tapi, kelemahan ini tidak ditutupi dengan adanya tindakan tegas terhadap pengusaha yang melanggar ketentuan ini. Kalaupun ada perusahaan yang ditindak, jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Kini, muncul lagi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Tujuannya tidak jauh berbeda dengan program Jamsostek: adanya jaminan agar kebutuhan dasar hidup dapat diterima peserta (buruh/tenaga kerja). Bedanya, program ini berlaku bagi semua penduduk. Tidak semata buruh an sich. Hanya saja, seperti peribahasa yang berbunyi jauh panggang dari api, peraturan perundang-undangan ini tidak jauh beda UU Nomor 3/1992: kontra produktif.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan mandulnya program jaminan sosial. Pertama, tidak ada keseriusan berupa political will dari pemerintah untuk memperbaiki kehidupan buruh. Dua undang-undang di atas, jika ditelisik lebih jauh, belum sepenuhnya membela kepentingan buruh. Menyangkut peserta jaminan sosial, misalnya. Tidak ada secara tegas yang menyatakan bahwa tenaga kerja (buruh) yang berstatus harian lepas dan outsourcing juga merupakan peserta jaminan sosial. Pada kenyataannya, peserta jamsotek didominasi buruh yang berstatus tetap. Kedua, belum adanya sistem kebijakan penghargaan (award) dan hukuman (punishment). Ini sebagai alat kontrol bagi pemerintah untuk menilai kinerja perusahaan. Penghargaan diberikan bagi perusahaan yang memberikan jaminan sosial bagi seluruh pekerjanya. Termasuk pekerja/buruh yang berstatus tidak tetap (harian lepas) dan kontrak/outsourcing. Bentuknya bisa berupa kemudahan kredit usaha untuk peningkatan produksi ataupun ekspansi usaha. Sedangkan hukuman diberikan bagi perusahaan yang dengan sengaja tidak mendaftarkan pekerja ke dalam program jaminan sosial. Termasuk di dalamnya buruh lepas dan outsourcing. Hukumannya adalah sanksi pidana bagi pemilik perusahaan sampai pada penutupan perusahaan tersebut (lock out).
Ketiga, tidak adanya dukungan (suport) terhadap keberlangsungan program jaminan sosial. Seperti mandeknya SJSN mengakibatkan daerah membuat program jaminan sosialnya masing-masing. Di tataran elite, SJSN belum menjadi program utama yang harus secepatnya dilaksanakan. Seperti belum adanya turunan produk hukum dari undang-undang ini. Begitu juga dengan Jamsostek. Banyak peraturan tentang perburuhan yang justru mengkresditkan buruh. Seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya pasal 99, yang tidak tegas menyebutkan bahwa buruh harian lepas dan kontrak/outsourcing adalah termasuk klasifikasi buruh yang wajib mendapatkan pelayanan Jamsostek.
Posisi Jaminan Sosial
Sebelumnya, harus ada kesamaan pandang bagi kita untuk menempatkan posisi buruh. Di mana dalam prakteknya sekarang ini buruh merupakan outsider. Desain kebijakan politik belum memosisikan buruh sebagai salah satu pemangku kepentingan utama (stakeholder). Implikasinya adalah pelanggaran berbagai hak normatif buruh. Seperti upah rendah, minimnya alat pelindung diri (APD), rendahnya kualitas alat kerja, buruknya fasilitas kerja, dan pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Untuk mengatasi masalah ini, maka terlebih dahulu kita harus mengubah paradigma kita mengenai buruh. Buruh bukan budak atau pekerja paksa. Mereka sama halnya dengan kelompok masyarakat lainnya, termasuk kaum elite pengusaha dan penguasa. Dan ini secara gamblang dijamin di konstitusi. Buruhlah yang membuat alat produksi memiliki nilai sehingga dapat mendatangkan kapital (modal). Meski buruh itu sendiri tidak memiliki modal. Namun, tenaga dan jasa yang dikeluarkan buruh sama berharganya dengan modal yang dimiliki pengusaha.
Ketika posisi buruh dan pengusaha sudah sederajat, maka tenaga dan jasa yang mereka keluarkan harus dihargai dengan upah yang setimpal. Makanya, konsep pembuatan upah minimum, baik untuk tingkat regional (UMR), provinsi (UMP), kabupaten/kota (UMK), dan sektor (UMSK) tidak lagi didasari atas kebutuhan hidup seorang lajang, tetapi atas dasar keperluan jumlah anggota keluarga. Atau, penentuan upah harus didasari berdasarkan nilai produksi yang diciptakannya selama satu hari. Dengan kata lain, upah buruh sudah bisa untuk memproteksi keperluan keluarga buruh (istri dan anak). Upah ini juga sudah memperhitungkan kenaikan rata-rata inflasi, minimal selama lima tahun. Upah adalah pemenuhan keperluan premier dan sekunder.
Sedangkan untuk keperluan tersier, buruh mendapatkannya melalui program jaminan sosial. Jaminan sosial adalah investasi jangka panjang yang dimiliki buruh dan keluarganya. Yaitu berupa proteksi dan pelayanan kesehatan, pendidikan sampai jenjang tertinggi, dan santunan kematian serta tunjangan hari tua/pensiun. Jaminan sosial, dengan sendirinya, tidak boleh dimasukkan ke dalam kategori upah. Program jaminan sosial dan upah harus berdiri masing-masing. Tidak seperti saat ini, di mana, misalnya, program Jamsostek, adalah salah satu item dari komposisi slip gaji. Belum lagi adanya potongan-potongan lain seperti potongan iuran serikat buruh, potongan koperasi dan potongan pensiun. Sehingga pendapatan buruh menjadi berkurang.
Sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/06/07/jaminan-sosial-untuk-buruh-563014.html#

Tugas 2 SAP 8



Pemberian Upah dan Kesejahteraan buruh
Pengertian Upah
Upah merupakan faktor yang sangat penting bagi perusahaan, karena jumlah upah atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawannya akan mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap jalannya perusahaan. Upah yang dimaksud disini adalah balas jasa yang berupa uang atau balas jasa lain yang diberikan lembaga atau organisasi perusahaan kepada pekerjanya. Pemberian upah atau balas jasa ini dimaksud untuk menjaga keberadaan karyawan di perusahaan, menjaga semangat kerja karyawan dan tetap menjaga kelangsungan hidup perusahaan yang akhirnya akan memberi manfaat kepada masyarakat. Upah merupakan masalah yang menarik dan penting bagi perusahaan, karena upah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pekerja.
Sistem upah pada umumnya dipandang sebagai suatu alat untuk mendistribusikan upah kepada karyawan, pendistribusian ini berdasarkan produksi, lamanya kerja, lamanya dinas dan berdasarkan kebutuhan hidup. Fungsi system upah sebagai alat distribusi adalah sama pada semua jenis dan bentuk sistem upah, tetapi dasar-dasar pendistribusiannya tidak harus sama. Upah merupakan penghargaan dari energi karyawan yang menginvestasikan sebagai hasil produksi, atau suatu jasa yang dianggap sama dengan itu, yang berwujud uang, tanpa suatu jaminan yang pasti dalam tiap-tiap minggu atau bulan, maka hakekat upah adalah suatu penghargaan dari energy karyawan yang dimanifestasikan dalam bentuk uang.

Upah Wajar
Upah wajar adalah upah yang secara relatif dinilai cukup wajar oleh pengusaha dan pekerja/buruh sebagai imbalan atas jasa-jasanya pada perusahaan. Upah wajar ini sangat bervariasi dan selalu berubah-ubah antar upah minimum dan upah hidup sesuai dengan faktor-faltor yang memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah :
a. kondisi perekonomian negara;
b. nilai upah rata-rata di daerah tempat perusahaan itu berada;
c. peraturan perpajakan;
d. standar hidup para pekerja/buruh itu sendiri;
e. posisi perusahaan dilihat dari struktur perekonomian negara.


Peranan upah dalam perusahaan
Upah memegang peranan yang sangat penting terhadap pekerja dan juga bagi kelangsungan hidup perusahaan. Upah merupakan salah satu bentuk dari kompensasi, dimana pekerja menerima imbalan dari pemberi kerja atas pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan semakin ketatnya persaingan bisnis mengakibatkan perusahaan dihadapkan pada tantangan untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup. Oleh karena itu perusahaan harus mampu besaing, dan salah satu alat yang dapat digunakan oleh perusahaan adalah upah.
Jika sistem upah dirasakan adil dan kompetitif oleh pekerja, maka perusahaan akan lebih mudah untuk menarik pekerja yang potensial, mempertahankannya, dan memotivasi agar lebih meningkatkan kinerjanya. Sehingga produktivitas meningkat dan perusahaan mampu menghasilkan produk dengan harga yang kompetitif, yang pada akhirnya, perusahaan bukan hanya unggul dalam persaingan, namun juga mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, bahkan mampu meningkatkan profitabilitas dan mengembangkan usahanya.
Upah mempengaruhi secara langsung dan signifikan kinerja pekerja, selanjutnya dengan kinerja pekerja yang baik pada gilirannya akan mempengaruhi efisiensi dan provitabilitas perusahaan.

Upah dan Pendapatan
Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB), baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.  Pendapatan nominal adalah pendapatan yang diukur dalam unit moneter per periode waktu, berapa banyak rupiah per minggu, per bulan atau per tahun. Sedangkan Upah merupakan faktor yang sangat penting bagi perusahaan, karena jumlah upah atau balas jasa yang diberikan perusahaan kepada karyawannya akan mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap jalannya perusahaan. Upah yang dimaksud disini adalah balas jasa yang berupa uang atau balas jasa lain yang diberikan lembaga atau organisasi perusahaan kepada pekerjanya. Pemberian upah atau balas jasa ini dimaksud untuk menjaga keberadaan karyawan di perusahaan, menjaga semangat kerja karyawan dan tetap menjaga kelangsungan hidup perusahaan yang akhirnya akan memberi manfaat kepada masyarakat. Upah merupakan masalah yang menarik dan penting bagi perusahaan, karena upah mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap pekerja.

Karakteristik pokok dari upah insentif yang baik adalah :

1. harus menujukkan pengarhan kepada karyawan atsa produktivitas mereka.
2. harus dapat dipakai untuk mencapai tujuan produktif perkayawan secara layak.
3. tambahn upah yang diperoleh karyawan harus paling sedikit diseimbangakan dengan biaya   
    produksi  terendah.

Ketentuan Hukum dan Perundang-undangan pengupahan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) pada Bab 10 mengatur tentang Pengupahan. Menurut Pasal 88 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kebijakan pemerintah mengenai pengupahan yang melindungi pekerja/buruh meliputi:
a). upah minimum;
b). upah kerja lembur;
c). upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d). upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e). upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya;
f). bentuk dan cara pembayaran upah
g). denda dan potongan upah;
h). hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i). struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
j). upah untuk pembayaran pesangon; dan
k). upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Pasal 89 UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa upah minimum ditetapkan pemerintah berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum dapat terdiri atas upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
                  http://makassar.tribunnews.com http://ade-regga-sukagame.blogspot.com

Kamis, 20 Juni 2013

Tugas Softskill SAP 7 tentang Perundang-undangan Ketenagakerjaan


Ketentuan Pokok Ketenagakerjaan
Pelatihan akan merinci pokok-pokok hukum ketenagakerjaan yang perlu mendapat perhatian lebih, berawal dari sejak dimulai adanya hubungan kerja, kemudian selama berlangsungnya hubungan kerja, sampai pada saat atau setelah berakhirnya hubungan kerja dengan rujukan utamanya adalah peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang mengatur hak dan kewajiban para pihak dalam hubungan kerja (perusahaan maupun pekerja atau buruh) serta hubungannya dengan SP/SB dan pemerintah dalam bentuk undang-undang Ketenagakerjaan serta ketentuan pelaksanaan dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan atau Peraturan Menakertrans, dan peraturan lainnya yang terkait.

Wajib Lapor Ketenagakerjaan
Peraturan Menakertrans No PER-14/MEN/IV/2006 tentang Tata Cara Pelaporan Ketenagakerjaan di Perusahaan, Pasal 2 ayat (1) berbunyi: Pengusaha wajib membuat laporan ketenagakerjaan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya baik pada kantor pusat, cabang maupun pada bagian perusahaan yang berdiri sendiri. Berarti, perusahaan wajib juga membuat Laporan Perusahaan di kantor cabangnya. Pelaporan Ketenagakerjaan lazimnya berdasarkan pada tempat dimana pekerja diterima bekerja (untuk keperluan pendataan bagi Disnaker tempat pekerja diterima bekerja).


Peraturan Perundang-undangan hub.Industrial Pancasila
Proses penegakan hukum bidang ketenagakerjaan selama ini dilakukan melalui upaya atau pendekatan persuasif-edukatif dengan mengedepankan sosialisasi serta informasi tentang peraturan dan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Dalam tahapan awal, pemerintah memberdayakan para pengawas ketenagakerjaan untuk melakukan pembinaan dan sosialiasi kepada perusahaan-perusahaan dan pekerja/buruh agar bisa menjalankan aturan-aturan ketenagakerjaan.
Pasal 1 angka 32 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mendefinisikan pengawasan ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakkan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Pengawasan ketenagakerjaan dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan bersifat independen guna menjamin pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pegawai pengawas ketenagakerjaan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan oleh unit kerja tersendiri pada instansi yang mempunyai lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang ketenagakerjaan baik di lingkungan pemerintah pusat, maupun di lingkungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek) sebagaimana didasarkan pada UU No 3 Tahun 1992, pada prinsipnya merupakan sistem asuransi sosial bagi pekerja (yang mempunyai hubungan industrial) beserta keluarganya. Skema Jamsostek meliputi program-program yang terkait dengan risiko, seperti jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan pemeliharaan kesehatan, dan jaminan hari tua. Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) meliputi: biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan, pengobatan, perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan uang bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, dan cacat. Apabila pekerja meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja, mereka atau keluarganya berhak atas jaminan kematian (JK) berupa biaya pemakaman dan santunan berupa uang. Apabila pekerja telah mencapai usia 55 tahun atau mengalami cacat total/seumur hidup, mereka berhak untuk memperolah jaminan hari tua (JHT) yang dibayar sekaligus atau secara berkala. Sedangkan jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK) bagi tenaga kerja termasuk keluarganya, meliputi: biaya rawat jalan, rawat inap, pemeriksaan kehamilan dan pertolongan persalinan, diagnostik, serta pelayanan gawat darurat. Pada dasarnya program Jamsostek merupakan sistem asuransi sosial, karena penyelenggaraan didasarkan pada sistem pendanaan penuh (fully funded system), yang dalam hal ini menjadi beban pemberi kerja dan pekerja. Sistem tersebut secara teori merupakan mekanisme asuransi. Penyelengaraan sistem asuransi sosial biasanya didasarkan pada fully funded system, tetapi bukan harga mati. Dalam hal ini pemerintah tetap diwajibkan untuk berkontribusi terhadap penyelengaraan sistem asuransi sosial, atau paling tidak pemerintah terikat untuk menutup kerugian bagi badan penyelengara apabila mengalami defisit. Di sisi lain, apabila penyelenggara program Jamsostek dikondisikan harus dan memperoleh keuntungan, pemerintah akan memperoleh deviden karena bentuk badan hukum Persero. Kontribusi atau premi yang dibayar dalam rangka memperoleh jaminan sosial tenaga kerja adalah bergantung pada jenis jaminan tersebut. Iuran JKK adalah berkisar antara 0,24 persen – 1,742 persen dari upah per bulan dan atau per tahun, bergantung pada kelompok jenis usaha (terdapat 5 kelompok usaha), dan dibayar (ditanggung) sepenuhnya oleh pengusaha (selaku pemberi kerja). Demikian pula dengan JK, iuran sepenuhnya merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 0,30 persen dari upah per bulan. Sementara itu, iuran JPK juga merupakan tanggungan pengusaha yaitu sebesar 6 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang sudah berkeluarga, dan 3 persen dari upah per bulan bagi tenaga kerja yang belum berkeluarga, serta mempunyai batasan maksimum premi sebesar satu juta rupiah. Sedangkan iuran JHT ditanggung secara bersama yaitu sebesar 3,70 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pengusaha, dan 2 persen dari upah per bulan ditanggung oleh pekerja. Dalam UU No. 3 Tahun 1992, dinyatakan bahwa penyelenggara perlindungan tenaga kerja swasta adalah PT Jamsostek. Setiap perusahaan swasta yang memperkerjakan sekurang-kurangnya 10 orang atau dapat membayarkan upah sekurang-kurangnya Rp 1 juta rupiah per bulan diwajibkan untuk mengikuti sistem jaminan sosial tenaga kerja ini. Namun demikian, belum semua perusahaan dan tenaga kerja yang diwajibkan telah menjadi peserta Jamsostek. Data menunjukan, bahwa sektor informal masih mendominasi komposisi ketenagakerjaan di Indonesia, mencapai sekitar 70,5 juta, atau 75 persen dari jumlah pekerja – mereka belum tercover dalam Jamsostek. Sampai dengan tahun 2002, secara akumulasi JKK telah mencapai 1,07 juta klaim, JHT mencapai 2,85 juta klaim, JK mencapai 140 ribu klaim, dan JPK mencapai 54 ribu klaim. Secara keseluruhan, nilai klaim yang telah diterima oleh peserta Jamsostek adalah sekitar Rp 6,2 trilyun. Namun demikian, posisi PT Jamsostek mengalami surplus sebesar Rp 530 milyar pada Juni 2002

Sumber :  hukumtenagakerja.com/tag/peraturan-tenaga-kerja/
               memahami-peraturan-ketenagakerjaan-di-indonesia.html