Minggu, 20 Maret 2011

Membangun Koalisi Partai Politik

Pertemuan Partai Golkar dan PDIP di Medan beberapa waktu yang lalu, yang kemudian dilanjutkan oleh pertemuan Palembang, dianggapa sebagai titik awal membangun koalisi. Meski beberapa pengamat menilai, bahwa koalisi antara dua partai yang sama-sama berfaham kebangsaan itu tidak akan terjadi karena antara keduanya memiliki karakter yang berbeda. Partai Golkar merupakan mantan partai pendukung Orde Baru yang ditentang oleh PDIP, dan sekarang menjadi bagian dari kekuasaan. Sementara PDIP telah memutuskan untuk berada pada posisi oposisi. Dengan kondisi seperti itu apa mungkin koalisi akan terbangun di antara keduanya?
Dalam politik, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Bukankah politik adalh seni dari berbagai kemungkinan. Adagium dalam politik, tidak ada kawan yang sejati, begitu juga tidak ada lawan yang permanen. Yang abadi adalah kepentingan. Oleh karena itu dalam politik, kawan akan menjadi lawan, dan lawan bisa menjadi kawan. Dalam konteks ini, pertemuan dua partai tersebut bisa jadi karena memiliki kepentingan yang sama bersepakat membangun koalisi di antara keduanya.
Memang terlalu prematur apabila kita lalu menyimpulkan, bahwa antara kedua partai tersebut akan membangun koalisi. Titik poin tulisan ini bukan untuk menyimpulkan bahwa pertemuan Partai Golkar dan PDIP tersebut pasti akan terjadi koalisi antara keduanya. Namun tulisan ini hendak mengajak, siapapun partai politiknya, saya kira sudah saatnya, dalam rangka untuk membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik, partai-partai politik yang ada saat ini berkoalisi. Ini perlu dilakukan dalam upaya memperkuat sistem pemerintahan yang kita anut sekarang ini, yakni sistem presidensiil.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa sistem presidensil yang kita laksanakan dewasa ini memunculkan praktik parlementarianisme sehingga pemerintahan berjalan tidak efektif. Oleh karena itu dalam rangka membangun pemerintahan yang efektif dan stabil perlu adanya pelembagaan koalisi, baik di parlemen maupun di kabinet, selain pelembagaan oposi di parlemen sebagai wadah bagi koalisi partai-partai yang kalah dalam pemilu presiden dan tidak duduk di dalam pemerintahan dan atau kabinet hasil pemilu.
Pelembagaan oposisi diperlukan untuk menghindari kemungkinan munculnya sikap dan tindakan dari presiden yang memiliki kekuasaan dan legitimasi politik yang begitu kuat lantaran dipilih secara langsung oleh rakyat.
Memang koalisi partai politik merupakan fenomena yang sering berlaku dalam sistem pemerintahan parlementer. Koalisi dibutuhkan untuk membentuk pemerintahan atau kabinet dari partai-partai yang memiliki suara di parlemen.
Sebagaimana berlaku dalam sistem parlementer, partai yang memenangkan pemilu memiliki kesempatan membentuk kabinet dengan memperhatikan dukungan mayoritas di parlemen. Dalam rangka membentuk kabinet ini, apabila tidak mencapai mayoritas di parlemen, maka ia harus melakukan koalisi dengan partai-partai lainnya agar mayoritas di parlemen tersebut tercapai.
Namun demikian, gejala koalisi partai ternyata tidak hanya terjadi dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensiil pun di kenal koalisi partai politik, misalnya, dalam proses pengambilan keputusan di parlemen. Partai-partai di parlemen melakukan koalisi demi meloloskan kebijakan tertentu.
Dalam terori tentang koalisi partai politik, apabila dikelompokkan secara garis besar ada dua kelompok, yaitu koalisi yang tidak didasarkan atas pertimbangan kebijakan (policy blind coalitions) dan koalisi yang didasarkan pada preferensi tujuan kebijakan yang hendak direalisasikan (policy-based coalitions).
Bentuk koalisi kelompok pertama menekankan prinsip ukuran atau jumlah kursi di parlemen, minimal winning coalition dan asumsi partai bertjuan ”office seeking” (memaksimalkan kekuasaan). Bentuk koalisi seperti ini loyalitas peserta koalisi sulit terjamin dan sulit diprediksi.
Sementara koalisi kelompok kedua menekankan kesamaan dalam preferensi kebijakan, minimal conected coalition (terdiri dari partai-partai yang sama dalam skala kebijakan dan meniadakan patner yang tidak penting), dan asumsi koalisi partai, bertujuan ”policy seeking”, yaitu mewujudkan kebijakan sesuai kepentingan partai. Bila koalisi seperti ini terbentuk, maka loyalitas peserta koalisi partai akan terbentuk, karena diikat oleh kesamaan tujuan kebijakan.
Berdasarkan pada bentuk-bentuk koalisi seperti diuraikan di atas, memang apabila kita gunakan untuk menganalisis model-model koalisi yang ada sekarang ini, berada pada bentuk koalisi kelompok pertama. Apakah itu model koalisi yang dibangun oleh Presiden Megawati saat membentuk Kabinet Gotong Royong, maupun model koalisi yang dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat ini dalam Kabinet Persatuan-nya.
Apalagi kemudian bila kita mengamati model-model koalisi yang terjadi atau terbentuk dalam Pemilihan Kepala Derah (Pilkada) langsung. Bentuk-bentuk koalisi yang ada begitu beragam, warna-warni, dan cenderung pragmatis. Sehingga yang terjadi kemudian, setelah pilkada selesai koalisi yang ada lalu cenderung ”pecah kongsi”.
Oleh karena itu, saya kira dalam upaya membentuk pemerintahan yang efektif dan stabil, baik di tingkat pusat maupun di daerah, sudah saatnya dalam membangun koalisi, berdasarkan pada kesamaan program dan kebijakan, bukan karena alasan pragmatisme dan kekuasaan semata.
Dalam konteks itu, saya mengusulkan agar dalam regulasi UU Politik perlu diatur tentang koalisi partai politik antara koalisi partai pendukung pemerintah dan koalisi partai oposisi, sehingga pemerintahan bekerja di atas prinsip checks and balances. Dengan adanya format koalisi semacam itu, maka bentuk koalisi yang terjadi akan mengarah pada model koalisi yang tidak semata-mata pada kekuasaan, tetapi pada kesamaan pandangan dan kebijakan.

Sumber : google, (salakanagara)

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN

Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan-aturan yang bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut. Suatu paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut. Dengan suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu, seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah dalam ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan segala hal dalam kehidupan manusia.
Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain:
a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga
b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial
c. kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Sumber : http://www.anakkendari.co.cc/

SAMPAH, BARANG BEKAS DAN NILAI BISNIS

Persoalan sampah adalah persoalan siapa saja. Setiap orang, keluarga, kelompok masyarakat lainnya juga menghasilkan sampah. Seorang ibu tangga yang memasak dan menyiapkan makananuntuk keluarganya, akan menghasilkan sisa-sisa bahan yang tidak berguna dan akan dibuang di bak sampah. Karena itu semua pihak bertanggung jawab dalam masalah sampah.
Begitu juga dengan kalangan dunia usaha yang telah banyak mengambil manfaat dan keuntungan dari bisnisnya. Para pelaku bisnis yang memproduksi suatu barang, tentu juga akan menghasilkan sampah yang tidak sedikit. Bahkan kemasan produk yang telah sampai di tangan pun tentu akan menjadi sampah, dan barang bekas yang dibuang. Pertanyaannya adalah apakah misi bisnis setiap pengusaha sudah mengikutsertakan nilai-nilai dalam pengelolaan sampah yang dihasilkannya?
Data dari Kantor Kementerian Linkungan Hidup (KLH) menyebutkan bahwa jumlah sampah yang dihasilkan setiap kota di Indonesia rata-rata mencapai 200 ton setiap harinya. Ini tentu fakta yang mencengangkan. Ironisnya, kemampuan pemerintah, terutama pemerintah daerah dalam mengelola sampah ternyata masih sangat rendah. Syarat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang menjadi tumpuan dalam pengolahan sampah sangat jauh dari yang diharapkan.
Melihat fakta ini kita tentu maklum dengan berberbagai bencana yang melanda berbagai kota dari sampah sampah yang menggunung tersebut. Begitu juga dengan sejumlah bencana alam berupa tanah longsor yang menelan banyak korban jiwa mengiringi problem sampah di berbagai daerah.
Pada sisi lain, tidak sedikit pula tangan-tangan kreatif yang mampu menyulap sampah(baca : barang bekas) menjadi produk bisnis yang komersial. Sebut saja diantaranya produk kerajinan kertas daur ulang, produk kerajinan cangkang telor, yang memanfaatkan sampah dari kulit telor, ataupun seperti yang dilakukan komunitas ‘Cling of Uwuh’ yang mampu mengelola dan mengolah sampah kemasan plastik menjadi berbagai produk komersial.
Dari problem sampah yang mengancam kelangsungan kehidupan bumi, kita dapat belajar banyak. Untuk menjadi pengusaha, kita tentunya tak boleh sekedar mengejar keuntungan semata. Sejak awal menjalankan bisnis, sudah semestinya kita bertanggung jawab terhadap sampah bisnis yang dihasilkan. Seperti halnya sebagai pengusaha muslim, unsure syariah dalam berbisnis harus kita tetapkan agar keuntungan yang diperoleh juga halal, barokah, dan toyibah. Pada sisi lain, untuk mejalankan usaha kita juga tak perlu menunggu ide besar untuk membuat sebuah ide bisnis. Karena tidak sedikit idea taupun sumber bahan untuk bisnis ternyata berceceran dan terhampar disekitar kita, termasuk barang-barang bekas yang terbuang. Sekarang tinggal kreativitas, kemauan, dan niat dalam menjalankan bisnis itu.

Sumber : majalah pengusaha muslim